Kementerian Komunikasi dan Informatika mengumumkan dasar hukum BHP Starlink berbeda dengan BHP Cellular-Dicemotion.com

Dicemotion.com-


Jakarta (Antara) – Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika, Ismail, mengatakan terdapat perbedaan dasar hukum antara pengenaan biaya hak pakai (BHP) terhadap layanan Internet berbasis satelit. Starlink dan BHP untuk penyedia telekomunikasi seluler.

Menurut Ismail, keduanya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2023 tentang jenis dan tarif Penerimaan Negara Bukan Pajak, namun untuk Starlink kategorinya berbeda karena BHP harus mematuhi undang-undang. Lisensi Stasiun Radio (ISR) untuk layanan satelit.

PP Nomor 43 Tahun 2023 disetujui setelah melalui serangkaian konsultasi publik dengan pemangku kepentingan dan koordinasi dengan kementerian terkait lainnya, kata Ismail di Jakarta, Minggu.

Oleh karena itu, perhitungan BHP Starlink berbeda dengan BHP Lisensi Pita Frekuensi Radio (IPFR) yang dikenakan pada operator seluler.

Ismail membenarkan Starlink membayar BHP ISR sesuai kewajibannya dan tidak mendapat perlakuan khusus.

“Sebenarnya pembayaran BHP ISR ke Starlink sekitar $23 miliar per tahun,” tegasnya.

Baca juga: Kementerian Komunikasi dan Informatika menegaskan Starlink tidak akan diberikan perlakuan khusus

Baca juga: KPPU tidak mengeluarkan pernyataan bahwa Starlink melakukan “huntless price”.

Hal senada juga disampaikan Ismail terkait pemberitaan media yang menyebut angka BHP diperkirakan mencapai 2 miliar birr per tahun.

Selain itu, Direktorat Jenderal SDPI (Dietgen) menambahkan peran ISR BHP dalam penerapan regulasi yang ada pada setiap pelaku industri.

“Peran Kementerian Komunikasi dan Informatika adalah menghitung dan menetapkan besaran ISR BHP operator satelit berdasarkan formula dan indeks yang ditentukan dalam PP Nomor 43 Tahun 2023 dan peraturan pelaksanaannya serta membayar kewajiban BHP kepada satelit terkait. operator sampai saat itu,” jelasnya.

Dirjen Ismail menegaskan, BHP seluler berkaitan dengan Izin Pita Frekuensi Radio (IPFR) dan berbeda dengan BHP satelit yang berbentuk ISR. Menurut dia, BHP IPFR bersifat eksklusif seluler, artinya satu pita frekuensi dibatasi untuk satu pemegang izin dan satu wilayah layanan.

Sedangkan satelit BHP ISR bersifat non-eksklusif, sehingga pita frekuensi tertentu dibagikan kepada penyedia satelit lain, tidak hanya oleh satu pemegang lisensi.

“Frequency sharing untuk satelit dilakukan dengan menggunakan slot orbit yang berbeda atau membagi coverage area tidak terbatas pada pita frekuensi tertentu. Hal serupa juga terjadi pada layanan Starlink,” ujarnya.

Kemudian, jika ISR disesuaikan dengan kebutuhan pengendalian, maka waktu pemakaiannya lebih sedikit dibandingkan IPFR.

“Jika IPFR dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 10 tahun, ISR hanya dapat diberikan untuk jangka waktu paling lama 5 tahun. Hal ini terutama terkait dengan siklus peninjauan tahunan hak pendaratan yang diberikan kepada satelit asing,” ujarnya.

Selain jangka waktu izin yang berbeda, strategi seluler BHP ISR dan BHP IPFR juga berbeda karena keseluruhan metode penawaran frekuensi BHP IPFR, terutama pada tahun-tahun pertama izin. Dalam prosesnya, terjadi persaingan antar pemegang lisensi dalam bentuk penawaran harga.

Bersamaan dengan penjelasan BHP ISR kepada Starlink, Ismail menegaskan bahwa Starlink tidak bisa menyediakan layanan “direct to cell” di Indonesia.

Pernyataan ini dibuat untuk mengatasi kekhawatiran industri seluler mengenai kemampuan Starlink untuk menyediakan layanan langsung. Telepon genggam atau klien ponsel.

Mengingat belum adanya regulasi yang mengatur pelaksanaannya dan kemungkinan mengganggu kecepatan jaringan seluler yang hanya digunakan oleh operator seluler, ujarnya.

Baca juga: SpaceX meluncurkan Starlink Mini portabel seharga Rp 9,8 juta

Baca juga: KKP menyebut seluruh kapal pengawas perikanan menggunakan Starlink.

Baca juga: Moratelindo akan mengeluarkan modal sekitar 350 miliar birr pada kuartal pertama tahun 2024.

Koresponden: Livia Christiani
Editor: Maria Rosari Dwi Putri
Hak Cipta © ANTARA 2024

Sumber link

Posting Komentar

Lebih baru Lebih lama